Bukan Salah Masuk Gua

Bel berbunyi sebagai tanda bahwa sesi dua waktunya masuk kelas. Semua siswa berhambur meninggalkan kursi transit yang ada di luar. Sebelum masuk jam pelajaran, siswa tidak diperkenankan masuk ruangan. Mereka harus menunggu di kursi transit yang berada di depan kelas. Sambil menunggu bel masuk disitu sudah tersedia buku-buku untuk dibaca. Walau pun tidak semua siswa mengisi waktu dengan membaca, setidaknya usaha tersebut cukup menarik dalam peningkatan budaya membaca. Karena salah satu permasalahan budaya membaca kita, kurang tersedianya buku-buku bacaan di ruang-ruang kosong.


Jika kegiatan ini berjalan dengan baik, usaha meningkatkan budaya minat baca siswa dapat tercapai. Setidaknya ketersediaan buku bacaan dan pembiasaan membaca setiap hari sudah ada. Namun permasalahannya, adakah daya tarik dari buku-buku tersebut? Maukah siswa memilih membaca sambil menunggu bel masuk? Apalagi, hari ini tidak ada larangan siswa membawa handphone. Sudah bisa dipastikan, siswa lebih tertarik bermain handphone dari pada membaca buku. 


Lebih asyik ngobrol dan bergurau dari pada pegang buku. Siswa Lebih fokus berpetualang dengan game online, dari pada berpetualang dalam alur-alur cerita fiksi. Bisa dikatakan tidak ada. Kalau pun ada, mereka memang sudah membawa buku (novel) bacaan sendiri. Ada juga buku bacaan pribadinya ketinggalan. Dapat pahami, yang memanfaatkan waktunya di kursi transit untuk membaca adalah mereka yang sudah punya minat baca. Budaya membaca. 


Saya merasa mendapatkan kelas paling ujung, namun bagian tengah. Belum di pojok. Melewati lorong-lorong, dan beberapa kelas. Diantara hamburan anak-anak masuk kelas. Ada yang memanggilku ala kenek bus. Sambil mengangkat sebelah tangannya. "Pak Untung." mungkin anak tersebut ingin menunjukkan ke akrabannya. Saya pun menoleh sambil berjalan dan tersenyum padanya. 


Saya pun sering membahas, bagaimana saya merasa senang jika mereka ingat gurunya. Menyapanya saat bertemu di jalan. Sebagian ada yang beranggapan kurang sopan, karena berteriak memanggilnya. Karena pendengeran saya kurang baik, saya sampaikan bahwa berteriak agar saya mendengar panggilannya itu masih sopan. Asalkan tidak berlebihan. Saya juga sering membalas dengan menyebut balik namanya. Jika saya lupa, cukup saya balas dengan senyuman dan anggukkan. Hal ini, saya melihat senyum dan kebahagiaan di wajahnya. 


Sampailah saya di depan pintu kelas 7-I. Anak-anak diminta untuk berdiri. Perintah itu terdengar dari pengeras suara. Saya pun meminta semua anak-anak untuk berdiri dan bernyanyi indonesia raya dengan lantang. Kelas seperti bergelora, terbayang para pendahulu bangsa yang banyak berkorban untuk ibu pertiwi ini. Setidaknya lagu indonesia raya selalu membuat hatiku bergetar. 


Indonesiara selesai dengan khidmat, mereka pun hanyut tanpa suara. Entah, mereka benar-benar terhanyut juga dalam lantunan Indonesia Raya atau ada hal lain yang dipikirkan, di tengah keheningan saya persilahkan mereka duduk. Suasananya semakin terasa ada sesuatu yang mengganjal.  Di luar terlihat salah satu guru mondar-mandir mencari kelasnya tempat mengajar. Beliau adalah Pak Ridwan, guru olahraga. Saya pikir karena dua tahun anak-anak belajar secara Daring, dan baru minggu ini ada PTM. Suasana kelas jadi seperti gua. 


Senjata pertama harus keluar, kelas harus hidup. Baru mau buka sarung senjata, tiba-tiba Pak Ridwan berdiri di depan pintu. "Pak Untung, ngajar kelas berapa?" seketika saya sadar, yang salah bukan anak-anak, mereka diam karena pikirannya penuh pertanyaan. Namun belum waktunya ditanyakan. Bukan salah masuk gua, tetapi saya salah masuk kelas.


Langsung saya minta maaf, karena saya salah masuk kelas membuat Pak Ridwan dan anak-anak terkurung dalam kebingungan. Saya persilahkan kepada Pak Ridwan untuk menjalankan tugasnya. Dengan kata maaf, saya pamit mencari ruang kelas sesuai jadwal. Diiringi gelak tawa mereka, saya lari-lari kecil, karena anak-anak kelas 7-B sudah pasti menungguku.


Mohon maaf, Pak Ridwan, dan juga anak-anak kelas 7-I




Next Post Previous Post
No Comment
Komentar
comment url