Keterampilan Menulis Kreatif Praktik Pembelajaran Inovatif - Aksi #14

“Jangan buat pengalaman traumatis dengan menulis” kalimat yang menusuk, khususnya bagi fasilitator atau pun guru dalam mendidik anak untuk menulis. Menulis harus bisa menjadi kegiatan yang menyenangkan, jangan sampai kalah menyenangkan dari bermain. Kutipan kalimat di awal merupakan kalimat yang berada dalam Slide presentasi Elyda Karara. Acara webinar ini diselenggarakan dalam rangka Aksi Berbagi dan Berkolaborasi dari guru untuk guru. Sabtu, 29 Oktober 2022 melalui Live Streaming Youtube Untung rk.

Acara ini menghadirkan dua pemateri, yaitu; Ellyda Karara (Guru SMAN 1 Lawang dan Produser Teater), dan R. Roro Martiningsih (Guru SMP Muhammadiyah 1 Surabaya dan Duta Rumah Belajar Prov. Jatim 2017). Tema yang diusung webinar “Keterampilan Menulis Kreatif Praktik Pembelajaran Inovatif”. Sebagai pembuka, perempuan yang biasa dipanggil Roro membeberkan kisah pertama menulisnya. “saya mulai menulis di media itu pada saat S2. Itu pun karena sebuah tulisan teman.” 

Dari kisahnya, Roro ini tidak suka temannya menulis di media yang tulisannya hanya ucapan selamat hari raya. Padahal dia adalah teman S2. “seharunya dia bisa menulis tentang Pendidikan. Masak hanya menulis ucapan selamat hari raya.” Ungkap roro. Pada akhirnya pada saat itu beliau menulis dengan judul, Bagaimana Cara Meraih Kesuksesan.

Kisah lain dipaparkan oleh Guru SMAN 1 Lawang tentang bagaimana mengampu mata pelajaran Bahasa Indonesia dan membimbing siswanya dalam menulis puisi. Perempuan yang biasa dipanggil Elyda ini bercerita bahwa menulis sastra bagi siswa, baik itu cerpen, atau sastra yang lainnya bukan sesuatu yang menudah. “seperti menulis puisi pada kelas X, ini bukan sesuatu yang menyenangkan bagi anak.” Jelasnya.

Elyda memang tidak ingin rasa tidak menyenangkan. Pengalaman yang kurang menarik bagi siswa dalam proses belajar menulis jangan sampai menjadi pengalaman pahit yang baru. Perlunya kolaborasi dan adaptasi baik dengan cara siswa belajar, atau pun adaptasi teknologi dalam menulis sastra. “saya tidak ingin memberikan rasa traumatik dalam menulis sastra.” Tegasnya.

“mengajari menulis sastra sebagai alternatif penggunaan media sosial. Saya memilih dua bentuk karya satra, yaitu; fiksi mini dan puisi. Fiksi mini sendiri sebagai alternatif mengajar untuk menulis cerpen, karena yang karya cerpen penuh saya berikan kepada anak yang benar-benar ingin menjadi penulis.” Sambung Elyda. Dengan bentuk atau jenis karya tersebut munculah istilah perang karya, dimana siswa bisa memanfaatkan Twitter untuk menulis atau berkarya. Dan terjadi perang, karena yang dimention oleh temannya dalam sebuah karya, harus menulis jawaban atau balasan yang juga berupa karya baru. “ini cukup menuarik. di Twittnya @SastraSmanela sampai sekarang sudah terhimpun kurang lebih 3.600 twitt karya siswa.”

Untuk mendorong anak terus menulis, salah satu yang diberikan oleh Elyda kepada siswanya berupa tips dalam menghadapi kurangnya Mod. Tidak ada istilah bisa menulis karena mod kita lagi baik. “justru tangkaplah semua momen itu dengan menulis.” Pesan Elyda.

Menjelang acara ditutup, pesan singkat dari Roro, dalam menulis jangan terlalu jauh darimu. Apa yang paling dekat denganmu bisa kita tulis. “Jika kita dekat dengan siswa, tulislah pembelajaran apa yang berkaitan dengan siswa. Katakanlah ada siswa yang berantem, bisa kita menulis tentang bullying.” Pungkas roro. Sedangkan Elyda, mengajak untuk menulis sastra, walau sekecil apa pun. “Barangkali dengan menulis sastra itu menjadi peluruh dari hatimu yang sedang sakit dan gelisah. Jadi kita Healing tidak perlu kepantai atau kemanapun. Cukup dikamar saja, lalu menulis menjadi proses meluruhkan sedihmu.” Pungkas perempuan kelahiran Malang. 

Next Post Previous Post
No Comment
Komentar
comment url